Harianjogja.com, SYDNEY—Kekhawatiran terhadap perubahan iklim membuat empat dari sepuluh wanita Australia menunda atau ragu punya anak. Peneliti menyebut fenomena ini bisa memengaruhi tren demografi nasional.
Hal ini terungkap dalam survei nasional yang dilakukan Roy Morgan Research bersama Charles Sturt University. Survei terhadap 2.000 responden ini menunjukkan separuh warga Australia merasa “sangat” hingga “amat sangat” cemas terhadap krisis iklim, dan dua dari lima percaya kondisi bumi akan “jauh lebih panas” pada 2050.
Peneliti utama Prof Clive Hamilton mengungkapkan, perbedaan pandangan antara pria dan wanita menunjukkan adanya “kalkulasi risiko berbasis gender”. “Wanita lebih terbuka terhadap bukti ilmiah dan dampak manusia dari perubahan iklim,” ujarnya.
Hasil survei juga memperlihatkan, pemilih Partai Buruh, Partai Hijau, dan independen tiga kali lebih khawatir terhadap perubahan iklim dibandingkan dengan pemilih konservatif. Tingkat pendidikan disebut lebih memengaruhi kekhawatiran iklim dibandingkan usia.
Di antara yang belum memiliki anak, 40,4% wanita menyatakan ragu atau enggan memiliki anak karena iklim, sementara hanya 17% pria yang merasa demikian. “Kekhawatiran ini bisa berdampak pada penurunan angka kelahiran di Australia,” kata Hamilton, seperti dikutip dari The Guardian, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, isu ini jarang disentuh dalam kebijakan publik. “Ada kesenjangan besar antara percakapan anak muda tentang punya anak dan cara pemerintah membicarakan masa depan demografi Australia,” tambahnya.
Peristiwa Cuaca Ekstrem Tak Ubah Pandangan
Temuan ini sejalan dengan survei Australian Conservation Foundation pada 2019, yang mencatat sepertiga wanita Australia di bawah 30 tahun mempertimbangkan kembali rencana memiliki anak karena masa depan yang tidak pasti akibat perubahan iklim.
Menariknya, responden yang tinggal di daerah terdampak banjir dan kebakaran sejak 2019 tidak menunjukkan peningkatan kekhawatiran signifikan. “Banyak yang mengaitkan bencana dengan faktor alam atau menolak menyalahkan perubahan iklim,” jelas Hamilton.
Profesor Iain Walker dari University of Melbourne menilai fenomena ini konsisten dengan studi global. “Pengalaman peristiwa cuaca ekstrem hanya sedikit mengubah pandangan, karena cara orang menafsirkan bencana sangat dipengaruhi keyakinan awal mereka,” ujarnya.
Walker menambahkan, orang yang percaya perubahan iklim antropogenik akan melihat banjir atau gelombang panas sebagai bukti nyata, sedangkan penolak perubahan iklim justru mencari alasan untuk menolaknya.
Survei juga menemukan bahwa warga kota cenderung lebih khawatir terhadap krisis iklim dibandingkan penduduk daerah regional, meskipun wilayah terdampak bencana justru lebih banyak berada di luar kota besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : The Guardian

















































