IPAL Mandiri Giriloyo Jadi Contoh Pengolahan Limbah Batik

2 hours ago 1

IPAL Mandiri Giriloyo Jadi Contoh Pengolahan Limbah Batik Ilustrasi salah pembatik Giriloyo sedang mencanting. Harian Jogja - Kiki Luqman

Harianjogja.com, BANTUL—Kesadaran lingkungan para pembatik Giriloyo bukan sekadar slogan. Setiap rumah produksi kini memiliki instalasi pengolahan limbah sendiri, memastikan air sisa pewarnaan aman sebelum kembali ke tanah dan sungai sekitar.

Para pembatik di Desa Giriloyo, Imogiri, Kabupaten Bantul, menerapkan berbagai langkah perlindungan diri, mulai dari penggunaan kompor listrik hingga perlengkapan pelindung tubuh, agar aktivitas membatik tetap aman dan ramah lingkungan.

Tim Pengelola Desa Batik Giriloyo, Tiyastiti Suraya, mengatakan bahwa sebagian besar pembatik di wilayahnya kini beralih menggunakan peralatan yang lebih aman, terutama untuk menghindari paparan asap dan bahan berbahaya. “Sekarang hampir semua rumah perajin sudah menggunakan kompor listrik. Selain lebih hemat energi, juga tidak menimbulkan asap dan bau seperti minyak tanah,” ujarnya, Senin (10/11/2025).

Selain mengganti sumber energi yang lebih bersih, para perajin juga sudah membiasakan diri menggunakan peralatan pelindung diri seperti sarung tangan, masker, dan pakaian tahan air ketika melakukan proses pewarnaan kain.

“Dulu orang mewarnai dengan tangan langsung, sekarang kami dorong untuk memakai perlindungan. Kami terus edukasi agar kebiasaan ini menjadi budaya kerja,” katanya.

Peralatan pelindung tersebut merupakan bantuan dari Kementerian Kesehatan RI dan menjadi salah satu bentuk peningkatan kesadaran pekerja terhadap pentingnya keselamatan kerja. Tiyastiti menambahkan, kerja sama dengan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menghasilkan inovasi krim pelindung kulit untuk mencegah iritasi akibat bahan kimia.

“Program ini juga bagian dari penelitian dan pengabdian masyarakat dari tim kesehatan kerja di FKKMK UGM. Harapannya, pendampingan seperti ini bisa terus berlanjut agar para pembatik lebih sehat dan sadar akan keselamatan kerja,” ujarnya.

Langkah-langkah tersebut merupakan kelanjutan dari komitmen panjang komunitas Batik Giriloyo dalam membangun sistem produksi yang aman bagi manusia dan lingkungan. Sejak awal berdirinya, komunitas ini sudah memperhatikan aspek lingkungan serta risiko paparan bahan kimia dari proses pewarnaan dan pelorodan.

“Kami tidak berjalan sendiri, tetapi dibantu oleh banyak lembaga dan masyarakat. Ada Rumbanu AFA, IRE, JHS, USID, juga IFE. Mereka membantu sekaligus memberikan pemahaman mengenai bahaya bahan kimia dalam produksi batik,” tutur Tiyastiti.

Kesadaran tersebut tumbuh sejak tahun 2006, ketika para pembatik Giriloyo mulai memproses batik hingga tahap finishing secara mandiri. Sebelumnya, mereka hanya mengerjakan tahap pelilinan, sementara proses pewarnaan dilakukan oleh pengusaha batik di kota.

“Sejak awal kami sudah memikirkan soal limbah. Maka di sini dibangun instalasi pengolahan air limbah terpadu atau IPAL. Jadi ketika limbah batik dilepas ke lingkungan, sudah dalam kondisi aman,” kata Tiyastiti.

Kini, di bawah naungan kelompok besar Giriloyo, terdapat sekitar 15 unit usaha batik yang masing-masing memiliki fasilitas IPAL sendiri. “Mereka membatik di rumah-rumah yang sudah dilengkapi dengan fasilitas pengolahan limbah. Jadi tidak ada pembuangan limbah langsung ke sungai, sawah, atau badan air,” jelasnya.

Fasilitas tersebut juga mendapat dukungan dari pemerintah daerah. “Yang terakhir kami mendapatkan instalasi reaktor pengolahan limbah tambahan. Jadi IPAL kami di-upgrade agar bisa memurnikan air limbah sebelum dibuang ke lingkungan,” tambahnya.

Selain meminimalkan risiko bahan kimia terhadap lingkungan, komunitas ini juga fokus pada kesehatan fisik para perajinnya yang setiap hari duduk berjam-jam membatik. Tiyastiti menjelaskan bahwa mereka bekerja sama dengan Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Yogyakarta untuk meneliti ergonomi duduk pembatik. “Selama ini para pembatik biasa duduk di dingklik kecil, dan hasil penelitian menunjukkan itu tidak ergonomis. Akhirnya kami dibantu kursi ergonomis yang bisa mereka gunakan di rumah masing-masing,” ujarnya.

Perhatian terhadap kesehatan berlanjut dengan program Senam Batik, hasil kolaborasi dengan FKKMK UGM. Program ini melatih para pembatik melakukan gerakan sederhana untuk mencegah kelelahan otot dan gangguan sendi akibat duduk terlalu lama.

“Masalah utama pembatik biasanya carpal tunnel syndrome atau low back pain karena duduk terlalu lama. Lewat senam batik, mereka dilatih agar setiap satu jam berdiri dan menggerakkan tubuh, supaya tidak pegal dan lebih sehat,” jelas Tiyastiti.

Program senam tersebut kini menjadi kegiatan rutin, bahkan pernah digelar dalam bentuk senam massal saat peringatan Hari Batik. Dengan cara itu, kesehatan para pembatik tidak hanya dijaga dari paparan bahan kimia, tetapi juga dari sisi fisik dan postur tubuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|