Dua Negara di Palestina, Solusi atau Ilusi?

2 hours ago 23

Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Sidang umum PBB yang mulai digelar pekan ini akan jadi ajang pengakuan negara Palestina oleh sejumlah negara Eropa dengan dalih untuk memertahankan solusi dua negara. Dengan kondisi terkini, apakah solusi tersebut adalah hal yang praktis?

Gagasan membagi Tanah Suci sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Ketika mandat Inggris atas Palestina berakhir, rencana pembagian PBB pada tahun 1947 menetapkan pembagian wilayah tersebut menjadi negara-negara Yahudi dan Arab. Hal ini ditolak warga Palestina sebagai penduduk asli yang tanahnya dicaplok kelompok Zionis. 

Negara-negara Arab tetangga Palestina menyatakan perang dan rencana dua negara itu tidak pernah dilaksanakan. Berdasarkan gencatan senjata 1949, Yordania memegang kendali atas Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta Mesir atas Gaza. Israel merebut Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza dalam perang Timur Tengah tahun 1967. Solusi dua negara yang saat ini mengemuka, mensyaratkan kembalinya perbatasan sebelum 1967 tersebut.

Joseph Massad, profesor politik Arab modern dan sejarah intelektual di Universitas Columbia, New York, menuliskan di Middle East Eye bahwa KTT pekan ini bukanlah upaya pertama untuk menegakkan negara Palestina.

Pada 22 September 1948, Pemerintahan Seluruh Palestina (APG) didirikan di Gaza dan mengklaim kedaulatan atas seluruh Mandat Palestina. Dalam prakteknya, mereka hanya bisa beroperasi di Jalur Gaza, setelah berdirinya koloni pemukim Israel pada bulan Mei sebelumnya dan pendudukan Israel atas separuh wilayah yang telah ditetapkan oleh Rencana Pemisahan PBB sebagai negara Palestina.

75 Tahun Bencana Buatan Israel

Enam dari tujuh anggota Liga Negara Arab langsung mengakui APG. Hanya Yordania, yang menguasai Palestina tengah dan timur, yang dianeksasi pada tahun berikutnya dan berganti nama menjadi "Tepi Barat", yang menolak memberikan pengakuannya. Barat segera mengakui aneksasi Yordania atas Tepi Barat, namun tidak mengakui Yerusalem Timur.

Karena permusuhan Barat terhadap APG, dan keterlibatan dalam pembagian Palestina antara Israel dan Raja Abdullah I dari Yordania untuk mencegah kedaulatan Palestina, APG memudar dan membubarkan diri pada tahun 1953.

Pada 1988, Dewan Nasional Palestina – parlemen Palestina di pengasingan, sebuah organ dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) – secara sepihak mendeklarasikan “kemerdekaan” di Aljazair untuk mendukung Pemberontakan Palestina pertama (1987-1993), yang pada akhirnya akan dihancurkan oleh PLO sebagai harga yang harus dibayar untuk menandatangani Perjanjian Oslo pada 1993.

Sementara puluhan negara bergegas mengakui negara merdeka yang belum ada itu, Amerika Serikat dengan tegas menolaknya.

Faktanya, AS adalah pihak yang bertanggung jawab menghalangi kemerdekaan Palestina. Pada 1947, ketika AS menekan beberapa negara untuk mengubah suara mereka pada menit-menit terakhir dan mendukung Resolusi Majelis Umum PBB 181 tentang Rencana Pemisahan Palestina.

Berkat upaya Amerika, rencana tersebut memberikan sebagian besar wilayah Palestina kepada penjajah minoritas Yahudi, yang negaranya diakui oleh AS pada bulan Mei 1948. AS juga memastikan untuk tidak mengakui APG, sebuah strategi yang dipertahankan dengan menolak pengakuan atas deklarasi kemerdekaan PLO pada tahun 1988.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|