Harianjogja.com, JOGJA—Kementerian Agama (Kemenag) Kota Jogja terus menggencarkan edukasi untuk mencegah pernikahan dini dan menekan angka kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) di kalangan remaja.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Jogja mencatat hingga akhir Juli 2025 terdapat 13 pasangan yang mengajukan dispensasi pernikahan. Mayoritas disebabkan karena KTD.
BACA JUGA: Alih Pegawai dari Kemenag ke Kemenhaj Diyakini Tak Ganggu Persiapan Haji
Kepala Kemenag Kota Jogja, Ahmad Shidqi menyampaikan angka KTD masih menjadi perhatian di Kota Jogja. Kasus ini biasanya muncul akibat ketidakmatangan emosi maupun mental pasangan muda. Karena itu, intervensi edukasi sejak dini dinilai penting agar remaja memahami risiko dan tanggung jawab sebelum menikah.
Terkait remaja perempuan yang hamil saat masih sekolah, Ahmad menyebut hak pendidikan tetap diberikan. Namun, dalam praktiknya sering kali pihak keluarga sendiri yang menarik anak dari sekolah karena alasan sosial dan tekanan lingkungan.
“Secara aturan tetap boleh melanjutkan sekolah. Tapi banyak yang akhirnya mengundurkan diri karena faktor keluarga,” katanya, Jumat (26/9/2025).
Sesuai aturan yang ada, usia minimal pernikahan adalah 19 tahun. Jika ada permohonan menikah di bawah usia tersebut, maka harus melalui dispensasi pengadilan. Meski begitu, Ahmad mengakui kasus dispensasi masih ditemukan di Jogja, bahkan dia mendapat laporan adanya kasus KTD di kalangan pelajar SMP.
“Jumlah pastinya kami tidak tahu, mungkin lebih jelas di Dinas Sosial. Tapi memang ada kasus yang sampai usia SMP,” katanya.
Melalui program edukasi berkelanjutan, baik sebelum maupun setelah pernikahan, Kemenag berharap masyarakat semakin memahami pentingnya kesiapan mental, ekonomi, dan sosial sebelum membangun rumah tangga.
Dia menuturkan Kemenag Kota Jogja juga memiliki program bimbingan perkawinan yang ditujukan bagi calon pengantin (catin) yang sudah mendaftar di KUA. Dalam program ini, para catin diberi pembekalan tentang membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, termasuk pengelolaan ekonomi keluarga dan pemahaman psikologis.
“Pernikahan itu tidak sekadar ungkapan cinta, tapi membutuhkan kematangan mental dan kesiapan hidup bersama. Itu yang kami tekankan sejak usia sekolah agar anak-anak punya pemahaman sejak dini,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News