FOMO, FOBO, dan FOJI: Tiga Wajah Baru Kecemasan di Era Digital

2 hours ago 1

Image Sylvia Nur Anggraini

Gaya Hidup | 2025-11-07 19:30:17

Suara notifikasi kini sering terdengar lebih penting daripada suara hati sendiri. Dalam sehari, kita bisa membuka ponsel puluhan kali hanya untuk memastikan tidak ada hal yang terlewat. Kita ingin tahu siapa yang sedang berhasil, apa yang sedang viral, dan bagaimana posisi kita dibandingkan orang lain. Kebiasaan sederhana itu ternyata menyimpan bentuk kecemasan baru yang perlahan tumbuh di era digital. Para peneliti menyebutnya FOMO, FOBO, dan FOJI, tiga wajah dari kecemasan manusia yang hidup dalam koneksi tanpa jeda.

FOMO: Takut Tertinggal dari Kehidupan Orang Lain

FOMO atau Fear of Missing Out menggambarkan rasa takut tertinggal dari pengalaman orang lain. Kita sering merasa harus tahu apa pun yang sedang ramai. Melihat teman mengikuti seminar, liburan, atau meraih prestasi, muncul perasaan bahwa kita belum melakukan cukup banyak hal. Penelitian Przybylski, Murayama, DeHaan, dan Gladwell (2013) menunjukkan bahwa FOMO berhubungan dengan kepuasan hidup yang rendah serta penggunaan media sosial yang berlebihan. Dunia digital membuat perbandingan diri menjadi tak terhindarkan. Linimasa media sosial menampilkan versi terbaik dari setiap orang, dan tanpa sadar kita menilai kebahagiaan dari apa yang tampak di layar. Akibatnya, banyak orang hadir di banyak tempat, tetapi jarang benar-benar menikmati momen yang sedang dijalani. Ketika rasa ingin tahu berubah menjadi keharusan untuk selalu tahu, hidup pun perlahan kehilangan rasa tenangnya.

FOBO: Takut Ada Pilihan yang Lebih Baik

Berbeda dari FOMO, FOBO atau Fear of Better Option membuat seseorang sulit menentukan pilihan karena khawatir ada opsi lain yang lebih baik. Barry Schwartz (2004) dalam bukunya The Paradox of Choice: Why More Is Less menjelaskan bahwa semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin besar pula potensi stres dan penyesalan. Fenomena ini semakin kuat di dunia digital yang menawarkan segalanya dengan cepat. Kita terbiasa menelusuri rekomendasi tanpa akhir, menunggu momen yang terasa “paling tepat”, atau menunda keputusan karena takut salah. Padahal, waktu terus berjalan. FOBO membuat banyak orang tampak sibuk berpikir, tetapi tidak sungguh-sungguh melangkah. Dalam kehidupan nyata, kebebasan memilih hanya bermakna jika diiringi keberanian untuk memutuskan.

FOJI: Takut untuk Ikut Terlibat

FOJI atau Fear of Joining In menggambarkan ketakutan untuk berpartisipasi. Banyak orang ingin terlibat dalam percakapan atau komunitas, tetapi memilih diam karena takut dihakimi. Di media sosial, komentar bisa disalahpahami, pendapat bisa diserang, dan kesalahan kecil bisa menjadi bahan perbincangan. Hal serupa juga terjadi di dunia nyata. Mahasiswa enggan bergabung dengan organisasi karena takut tidak diterima, karyawan baru menahan diri berbicara di rapat karena takut dianggap tidak kompeten. Ketakutan ini lahir dari tekanan sosial yang makin halus: kita ingin diakui, tetapi takut disalahpahami. FOJI menunjukkan paradoks keterbukaan digital: semakin besar peluang untuk bersuara, semakin besar pula rasa takut untuk benar-benar melakukannya.

Kecemasan Kolektif di Era Digital

FOMO, FOBO, dan FOJI memperlihatkan sisi lain dari kemajuan teknologi. Kita hidup di tengah koneksi yang terus aktif, namun banyak yang merasa kosong dan terasing. Ketiganya berakar pada kebutuhan manusia untuk diterima dan dianggap cukup. Ketika pengakuan bergantung pada jumlah suka, komentar, dan validasi daring, batas antara keaslian dan pencitraan menjadi kabur. Algoritma media sosial mendorong kita untuk terus membandingkan diri, mencari pilihan baru, dan menilai setiap tindakan dengan ukuran yang tidak pernah tetap. Hasilnya adalah kecemasan kolektif yang pelan tapi pasti menggerus rasa tenteram. Seperti yang disampaikan oleh Gonzales dan Hancock (2011), paparan berlebihan terhadap representasi sosial orang lain dapat mengubah cara seseorang memandang harga dirinya. Artinya, semakin kita mencari nilai diri di dunia maya, semakin mudah pula kita kehilangan arah di dunia nyata.

Menemukan Tenang di Tengah Bising

Mungkin yang kita butuhkan bukan menjauh dari teknologi, tetapi belajar menempatkan diri di tengahnya. Tidak semua hal perlu diikuti, tidak semua pilihan harus sempurna, dan tidak semua kesempatan harus diambil. Memberi jeda sebelum bereaksi, menikmati proses tanpa membandingkan, dan berani terlibat dengan niat yang tulus dapat membantu kita menjaga kewarasan digital. Penelitian dari American Psychological Association (2023) menunjukkan bahwa kebiasaan melakukan digital mindfulness atau kesadaran digital membantu menurunkan stres dan meningkatkan keseimbangan emosi. Ketika kita mampu berhenti sejenak, memilih dengan sadar, dan hadir sepenuhnya dalam kehidupan, dunia digital tidak lagi menjadi ancaman, melainkan ruang refleksi. Dunia maya hanyalah cermin; ia memantulkan sejauh mana kita berani menerima diri apa adanya.

Penulis: Sylvia Nur Anggraini

Institusi: Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|