
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana normalisasi hubungan Indonesia–Israel kembali mengemuka setelah mantan kepala Mossad Yossi Cohen dalam wawancara dengan Fox News pada Jumat (1/11/2025), dilansir Jerusalem Post, menyebut Indonesia sebagai kandidat potensial untuk bergabung dalam Abraham Accords — perjanjian yang dimotori AS untuk menormalisasi hubungan diplomatik Israel dengan negara-negara Muslim seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan pada tahun 2020.
Bagi sebagian kalangan, langkah ini dianggap peluang strategis yang bisa memperkuat posisi diplomatik Indonesia di Timur Tengah dan membuka akses ekonomi baru. Namun bagi yang lain, normalisasi tanpa kemerdekaan Palestina justru merupakan kemunduran moral dan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.Namun, di balik kalkulasi diplomatik dan ekonomi, ada ancaman yang jauh lebih serius: proyek geopolitik Israel Raya (Greater Israel Project) yang dapat mengubah peta Timur Tengah dan mengguncang fondasi spiritual umat Islam dunia.
Lantas, perlu kah Indonesia bergabung ke dalam Abraham Accords?
Argumen yang Mendukung Normalisasi
1. Realpolitik dan Kebutuhan Geopolitik Baru
Dunia berubah cepat. Dinamika geopolitik Timur Tengah menunjukkan pergeseran dari konflik ideologis menuju pragmatisme ekonomi. Negara-negara Arab kini memandang Israel bukan lagi sekadar musuh, melainkan mitra potensial dalam teknologi, keamanan, dan investasi.
Bagi Indonesia, ikut dalam Abraham Accords dapat membuka peluang investasi, transfer teknologi pertanian dan pertahanan, serta akses ke pasar strategis di kawasan Timur Tengah. Hubungan diplomatik juga bisa memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi global, apalagi sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
2. Peluang Menjadi Mediator Perdamaian
Masuknya Indonesia tidak selalu berarti menyerah pada tekanan Barat atau Israel. Sebaliknya, Indonesia bisa memainkan peran sebagai bridge builder — jembatan diplomatik antara Israel dan Palestina.
Indonesia dapat membawa semangat “politik luar negeri bebas aktif” untuk mendorong solusi dua negara (two-state solution) dengan posisi yang lebih kuat karena memiliki hubungan dengan kedua pihak.
Argumen yang Menentang Normalisasi
1. Bertentangan dengan Amanat Konstitusi dan Politik Luar Negeri
Pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Dengan realitas bahwa Palestina masih berada di bawah pendudukan Israel, langkah menormalisasi hubungan sebelum ada pengakuan atas kemerdekaan Palestina dapat dipandang sebagai pelanggaran moral dan konstitusional.
Indonesia juga telah lama menegaskan syarat tegas: tidak akan mengakui Israel sebelum Palestina merdeka. Ini bukan sekadar simbol, melainkan komitmen sejarah bangsa terhadap keadilan dan kemanusiaan.
2. Ancaman Aneksasi dan Disintegrasi Timur Tengah
Normalisasi justru berpotensi memperkuat proyek lama Israel, yakni “Timur Tengah Baru” (New Middle East Project) yang dirancang untuk melemahkan dunia Arab-Muslim melalui fragmentasi dan aneksasi politik.
Laporan dan analisis dari berbagai lembaga internasional menyebut bahwa Israel tengah berupaya memperluas pengaruhnya ke delapan wilayah strategis: Palestina, Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.

7 hours ago
5














































