
Oleh : Syafruddin Karimi, Departemen Ekonomi, Universitas Andalas
REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah mengusung gagasan “menyirami ekonomi yang kering” saat Purbaya Yudhi Sadewa duduk sebagai menkeu. Narasinya sederhana: ketika likuiditas mengalir, pertumbuhan akan bangkit. Langkah simboliknya gamblang—memindahkan sekitar Rp200 triliun dana pemerintah ke bank-bank Himbara agar kredit bergulir lebih murah dan cepat. Ekspektasinya besar, kepercayaan publik tumbuh, dan mesin konsumsi–investasi bergerak serentak. Realitas Q3-2025 membuyarkan harapan itu. Pertumbuhan yoy melunak ke 5,04 persen dari 5,12 persen di Q2, sementara konsumsi rumah tangga justru turun lajunya. Pertanyaannya menggantung: di mana Purbaya Effect yang dijanjikan?
Kuncinya ada pada transmisi. Likuiditas tidak otomatis menjadi kredit. Bank tetap menilai risiko, agunan, dan prospek arus kas debitur. Jika risiko pendapatan rumah tangga terasa tinggi, bila permintaan barang tahan lama belum pulih, dan bila bank menilai margin harus dijaga, maka dana murah cenderung mengendap sebagai bantalan neraca. Di titik ini, Purbaya Effect meredup bukan karena niat lemah, melainkan karena saluran penyalurannya tersendat.
Di sisi permintaan, konsumsi rumah tangga masih menopang PDB, tetapi energinya menipis. Keluarga menahan pembelian kendaraan, elektronik, dan perumahan karena bunga kredit efektif belum turun secepat sinyal suku bunga acuan. Sementara itu, inflasi pangan dan biaya transport yang fluktuatif menggerus ruang belanja non-esensial. Di sisi lain, ekspor dan investasi menjaga angka pertumbuhan tetap di atas 5 persen. Ekspor sawit, baja, dan otomotif memberi bantalan, investasi mesin dan proyek konstruksi menambah dorongan. Kombinasi ini menyelamatkan headline, tetapi menyimpan kerentanan: guncangan eksternal atau gangguan pasokan segera terasa di angka PDB.
Struktur sektoral juga menunjukkan pesan tegas. Manufaktur, perdagangan, informasi–komunikasi, serta jasa mobilitas memberi kontribusi paling besar. Pertambangan justru terkontraksi akibat lemahnya permintaan komoditas dan kendala operasional. Artinya, pertumbuhan bergantung pada sektor yang responsif terhadap perbaikan logistik, kesinambungan pasokan, dan kepastian kebijakan. Bila eksekusi kebijakan tidak presisi, potensi akselerasi mudah menguap.
Di sinilah satu aspek strategis terlewat dari sorotan: Transfer ke Daerah (TKD). TKD sesungguhnya bisa mempercepat kemunculan Purbaya Effect. Ketika TKD cair tepat waktu, pemerintah daerah memiliki amunisi untuk membayar kontrak jasa, perawatan infrastruktur, dan belanja sosial yang langsung menetes ke kantong rumah tangga serta kas pelaku usaha lokal. Uang berputar pada rantai nilai yang dekat dengan masyarakat: bahan bangunan, transport lokal, jasa logistik, dan pasokan pangan. Efek penggandanya cepat, karena jarak antara anggaran dan aktivitas riil sangat tipis.
Sayangnya, perhatian kebijakan justru mengarah pada opsi daerah meminjam ke APBN. Arah ini berisiko memperlambat dampak nyata. Pinjaman daerah memerlukan studi kelayakan, penilaian risiko, proses persetujuan, hingga penganggaran ulang. Seluruh tahapan itu memakan waktu sehingga manfaat ekonomi sering datang terlambat. Sementara itu, TKD yang cair tepat waktu mampu menggerakkan proyek kecil–menengah yang siap eksekusi, memperbaiki jalan lingkungan, irigasi, pasar tradisional, dan fasilitas kesehatan–pendidikan di akar rumput. Ekosistem UMKM ikut bergerak karena menjadi pemasok langsung bagi proyek-proyek daerah. Jika Purbaya Effect diartikan sebagai likuiditas yang segera menjelma kredit dan belanja, maka penajaman TKD adalah pengungkit paling masuk akal. Aspek ini perlu dikoreksi agar Purbaya Effect cepat muncul di permukaan.
Bagaimana desain koreksinya?
Pertama, jadikan TKD sebagai pengatur ritme permintaan lokal. Rancang kalender penyaluran yang stabil per bulan, bukan menumpuk di akhir tahun. Terapkan prasyarat kesiapan proyek: desain selesai, kontrak siap, pemasok terverifikasi. Begitu dana turun, pekerjaan jalan tanpa jeda. Efeknya langsung: tenaga kerja terserap, pendapatan berputar, dan pelaku usaha lokal mendapatkan siklus pesanan yang dapat diprediksi.
Kedua, tautkan penempatan dana pemerintah di Himbara dengan target bunga kredit efektif. Bukan sekadar sinyal likuiditas, melainkan benchmark penurunan bunga untuk KPR sederhana, kredit investasi mesin, dan pembiayaan modal kerja UMKM pemasok proyek pemerintah. Ketika bunga efektif turun terukur, rumah tangga berani mengambil cicilan, dan pengusaha mempercepat belanja peralatan. Purbaya Effect menjadi terlihat karena angka kredit dan penjualan ritel menanjak.
Ketiga, dorong kredit rantai pasok dengan penjaminan berbasis performa. Pemerintah pusat dan daerah bertindak sebagai anchor: kontrak dan tagihan yang tervalidasi menjadi dasar pembiayaan bank. Skema ini menurunkan risiko kredit, mempercepat arus kas pemasok, dan memotong waktu tunggu pembayaran. Dampaknya berantai: persediaan bergerak, biaya modal turun, dan produksi tidak tersendat.
Keempat, tekan biaya hidup yang menahan konsumsi. Amankan pasokan pangan di koridor rawan, perkuat logistik berpendingin untuk komoditas segar, dan jaga tarif transport publik di lintasan padat. Saat keranjang konsumsi pokok stabil, rumah tangga kembali punya ruang untuk belanja non-esensial. Perubahan kecil di biaya harian sering lebih kuat pengaruhnya terhadap psikologi belanja daripada potongan bunga yang belum terasa di cicilan.
Kelima, jadikan Q4 panggung realisasi proyek ber-IRR sosial tinggi. Perawatan infrastruktur yang sudah ada kerap terabaikan, padahal dampaknya langsung menurunkan biaya produksi dan distribusi. Pilih proyek yang siap lelang, transparan, dan berpengaruh pada kelancaran barang. Efeknya berlipat: biaya logistik turun, margin usaha membaik, dan permintaan tenaga kerja bertambah.
Di luar koreksi teknis, narasi kebijakan harus tegas dan terukur. Publik membutuhkan peta jalan yang bisa dinilai periodik: berapa basis poin penurunan bunga efektif dalam tiga bulan, berapa triliun tambahan kredit produktif untuk pemasok pemerintah, berapa persen percepatan penyerapan TKD, dan berapa hari percepatan pembayaran tagihan ke pelaku usaha lokal. Ketika targetnya jelas dan kemajuan diumumkan berkala, persepsi risiko pasar menurun. Biaya modal turun bukan hanya karena suku bunga acuan, tetapi juga karena kepastian proses.
Garis besarnya terang. Purbaya Effect tidak akan lahir hanya dari memindahkan dana ke Himbara. Efek itu muncul ketika tiga gigi roda bergerak serentak: TKD yang cair tepat waktu dan menyasar proyek siap eksekusi, bunga kredit efektif yang turun terukur pada produk prioritas, serta rantai pasok yang mendapatkan akses pembiayaan dengan penjaminan berbasis performa. Tiga hal ini mendorong konsumsi barang tahan lama, mempercepat belanja modal, dan menambah jam kerja di sektor yang padat tenaga. Pada saat yang sama, ekspor bernilai tambah tetap dijaga melalui kelancaran impor bahan baku dan efisiensi pelabuhan agar momentum eksternal tidak padam.
Apakah langkah-langkah ini cukup untuk mengangkat pertumbuhan menuju target yang lebih ambisius? Peluangnya terbuka. Indonesia tidak kekurangan proyek, tidak kekurangan pelaku usaha, dan tidak kekurangan tenaga kerja. Yang diperlukan ialah sinkronisasi kebijakan yang mengurangi gesekan pada titik-titik krusial: pembayaran, pembiayaan, dan logistik. Dengan TKD yang diperlakukan sebagai accelerator permintaan lokal—bukan sekadar baris anggaran—Purbaya Effect akan terlihat di tempat yang paling penting: di cicilan yang lebih ringan, di gudang yang lebih sibuk, dan di pasar yang lebih ramai.
Q3 memberi peringatan keras: pertumbuhan melambat, konsumsi menahan diri, dan pertambangan berkontraksi. Jawaban paling cepat bukan menambah jumlah program, melainkan membuat program yang sudah ada bekerja. Koreksi arah di TKD, penajaman target bunga efektif, dan pembiayaan rantai pasok akan mengubah likuiditas menjadi aktivitas nyata. Ketika Purbaya Effect akhirnya muncul di permukaan, angka PDB tidak lagi bertahan, tetapi menanjak dengan fondasi yang lebih luas dan berkelanjutan.

1 hour ago
2











































