Paket Kombo Purbaya-Bos BI, Pakar Bongkar Efeknya ke Ekonomi RI

12 hours ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas fiskal dan moneter kini bersatu padu fokus mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Kalangan ekonom pun meyakini, efek kombinasi kebijakan itu bisa mendorong ekonomi lebih cepat dalam waktu singkat.

Dari sisi moneter, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo secara agresif menurunkan suku bunga acuan BI Rate sebanyak lima kali pada tahun ini hingga ke level 4,75% pada September 2025, level yang sama seperti Oktober 2022.

Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan belanja negara akan agresif untuk memastikan peredaran uang primer tumbuh mendorong konsumsi.

Bahkan, dana menganggur pemerintah telah dipindahkan dari BI senilai Rp 200 triliun ke lima bank milik negara pada bulan ini. Dikombinasikan dengan paket stimulus ekonomi akhir tahun yang telah diberi nama paket stimulus 8+4+5.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan, kombinasi kebijakan makro antara otoritas fiskal dan moneter itu akan sedikit terasa pada kuartal III-2025 dengan mendorong pertumbuhan lebih cepat, bahkan lebih tinggi dari kuartal II-2025 yang sebesar 5,12%.

Namun, ia menganggap, transmisi dua kebijakan kombinasi itu akan terasa lebih besar pada kuartal IV-2025 hingga membuat pertumbuhan ekonomi di level 5,2% berpeluang besar tercapai.

"Jadi harusnya kuartal III-2025 efeknya sudah mulai ada sedikit ke perekonomian, dan kuartal IV mulai lebih terasa. Pertumbuhan 5,2% harusnya feasible," ucap Telisa kepada CNBC Indonesia, Kamis (18/9/2025).

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi juga memiliki pandangan serupa dengan Telisa. Ia mengatakan, kebijakan BI sebetulnya dengan cepat akan menggerakkan sisi permintaan di tengah inflasi yang terjaga, karena kebijakan moneter longgar akan menurunkan bunga pinjaman.

Sementara itu, dari sisi fiskal yang ekspansif dengan kepastian tak akan ada lagi dana jumbo pemerintah yang hanya menganggur dan mengendap ia anggap akan mendorong kinerja ekonomi melalui semakin gencarnya pembiayaan atau kredit produktif.

"Intinya sederhana, ketika moneter menurunkan harga, fiskal menggerakkan uang, dan perbankan menyalurkan kredit dengan akuntabilitas, ekonomi riil memperoleh oksigen yang dibutuhkan untuk mempercepat investasi dan membuka kerja baru. Indonesia sedang memiliki kesempatan jarang untuk menyelaraskan kompas kebijakan," ucap Karimi.

Meski begitu, ia mengingatkan, supaya transmisi kebijakan bekerja, pemerintah dan BI perlu mengikat komitmen bank dengan target pembiayaan sektoral pada perumahan rakyat, manufaktur padat karya, agro, dan logistik.

"Program penjaminan kredit dan berbagi risiko untuk proyek produktif akan memangkas risk premium yang kerap memperlambat keputusan kredit di saat siklus baru berputar," tuturnya.

Di samping adanya efek positif itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mewanti-wanti kebijakan pemerintah yang sangat ekspansif dengan memanfaatkan dana menganggur bisa memicu kerentanan fiskal pemerintah.

"Karena dana tersebut sebenarnya adalah bantalan fiskal pemerintah. Apalagi, menambah likuiditas perbankan di saat perbankan sedang tidak kekurangan likuiditas, akan berpotensi membebani cost of fund perbankan jika dananya tak berhasil disalurkan di tengah permintaan kredit yang masih terbilang tidak terlalu agresif, risiko peningkatan NPL juga akan muncul," ucap Ronny.

Di sisi lain, saat BI terus menekan suku bunga acuannya, ia memperingatkan adanya potensi aliran modal asing yang keluar dari Indonesia ke depan, termasuk ke pasar obligasi pemerintah, karena imbal hasil yang ditawarkan tak lagi menarik.

"Banyak investor asing yang buang surat utang Indonesia, karena yieldnya tak lagi kompetitif. Hasilnya BI harus beli surat-utang tersebut toh pakai devisa. Capital outflow dan penipisan devisa akan menekan rupiah tepar, dan BI akan terus inject dana ke pasar sekunder, yang membuat BI bisa kehabisan dollar. Ini yang terjadi di 1998 toh. Sehingga harus minjam ke IMF," tegasnya.

"Dalam konteks inilah sebenanya independesi BI itu perlu dijaga. Agar sistem keuangan nasional tetap sehat, tidak ternodai oleh kepentingan ekonomi politik dan kekuasaan," ungkap Ronny.

Kendati begitu, ia mengakui, dalam konteks keadaan ekonomi yang nyaris stagnan, memang dibutuhkan intervensi pemerintah yang ekspansif secara fiskal. Tapi tetap harus makroprudensial secara moneter.

"Sehingga dalam hemat saya, burden sharing sudah cukup. Jadi yang Rp 200 triliun nya sebaiknya dipakai langsung buat biayain belanja produktif pemerintah. Namun anehnya, intervensi fiskal melalui paket stimulus hanya Rp 16 triliun, buat bank Rp 200 triliun. Kesannya malah kurang adil," tutur Ronny.

Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga melihat, stagnasi ekonomi Indonesia yang terjadi selama satu dekade terakhir memang harus segera ditangani. Untungnya, pemerintah kini mulai menangani masalah itu dengan mereduksi dana menganggur yang mengendap di BI yang tembus Rp 400 triliun, dan Bank Indonesia mulai melonggarkan kebijakan moneternya secara agresif.

Transmisi kebijakan dua kombinasi ini kebijakan fiskal dan moneter ia anggap akan cepat membuat biaya cicilan masyarakat lebih murah, meringankan beban dari sisi konsumen dan pelaku usaha, sehingga mereka memiliki ruang posisi cash yang lebih besar.

"Posisi cash yang lebih besar itu bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi atau ekspansi bisnis yang lebih besar lagi. Dan saya lihat ini sudah mulai terasa dan pada akhirnya membuat aktivitas ekonomi tumbuh meningkat di sekitar 5% tahun ini," tegas Myrdal.


(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri! 4 Hal Ini Ancam Ekonomi Indonesia

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|