REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- IM57+ Institute mendorong kasus dugaan pemerasan yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid harus menjadi evaluasi pemerintah pusat. Abdul kini berstatus sebagai tersangka paska terciduk dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Abdul disangkakan memeras anak buahnya di Dinas PUPR demi keuntungan pribadinya. Pemerasan ini diduga memantik anak buahnya mencari celah anggaran, bahkan dengan cara korupsi.
"Ini harus menjadi atensi serius di tingkatan nasional karena menimbulkan dampak yang sangat serius. Hal tersebut mengingat Kepala Dinas dan jajarannya harus mencari berbagai celah pendapatan tambahan yang berakibat pada buruknya pelayanan publik," kata Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, Senin (10/11/2025).
Lakso mengamati kondisi ini menyebabkan penerima layanan serta vendor pengadaan harus membayar fee. Tujuannya dalam rangka menutup permintaan tersebut sesuai dengan perintah dari jajaran struktural pemerintahan guna memenuhi keinginan kepala daerah.
"Akibatnya, adanya angka 'kemahalan' yang menyebabkan pembangunan tidak efektif dan terganggunya pelayanan publik. Perbaikan menyeluruh harus dilakukan untuk menghentikan praktek tersebut dengan menurunkan celah dana-dana yang tidak dialokasikan," ujar Lakso.
Lakso juga mengingatkan kasus ini merupakan tragedi keempat dimana Gubernur Riau ditangkap karena korupsi. Pada saat dilihat pun, modus yang digunakan seirama dengan kasus Plt Walikota Pekanbaru yang juga terletak di Riau untuk meminta anak buah menyerahkan sejumlah uang dalam mendukung aktivitas pimpinan.
"Pertanyaannya mengapa terjadi di Riau? Hal tersebut dapat dijawab melalui tiga alasan. Riau merupakan daerah dimana kaya sumber daya alamnya sehingga korupsi perizinan semakin rawan sehingga kasus Annas Mamun menjadi contoh kasus ini," ujar Lakso.
Kedua, Lakso menyinggung alokasi anggaran pengadaan tinggi. Kondisi ini membuat penyelenggara negara memiliki kesempatan dengan adanya potensi pendapatan yang tinggi. Ketiga, terdapat kesamaan dari seluruh Gubernur Riau yang menjadi tersangka dan terpidana korupsi bahwa motifnya dilakukan untuk kepentingan pribadi baik pembiayaan politik maupun penumpukan harta kekayaan.
"Tendensi tinggi dari konflik kepentingan ini tidak diimbangi oleh pembenahan yang serius dalam proses pemberantasan korupsi. Inilah yang membuat Riau menjadi salah satu provinsi yang Gubernurnya berkali-kali ditangkap KPK," ujar Lakso.
Sebelumnya, KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan yang melibatkan penerimaan uang Rp2,25 miliar. Perkara ini berkaitan dengan penambahan anggaran di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengungkapkan bahwa uang tersebut diperoleh sebagai bagian dari 'jatah preman' atas peningkatan anggaran untuk UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar, dengan kenaikan sebesar Rp106 miliar.
Tanak menjelaskan bahwa ada tiga kali setoran fee untuk Abdul Wahid. Pertemuan awal antara Sekretaris Dinas PUPRPKPP Riau Ferry Yunanda dan enam Kepala UPT menyepakati fee 2,5 persen dari selisih kenaikan anggaran. Namun, kemudian disepakati menjadi 5 persen atau Rp7 miliar.
Dua tersangka lain yaitu Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Abdul Wahid, dan Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau M Arief Setiawan. Mereka sudah dilakukan penahanan selama 20 hari pertama hingga 23 November 2025.

2 hours ago
1













































