Kuasa Hukum Ungkap Kerumitan Jual Beli Tanah dalam Kasus Mbah Tupon

8 hours ago 6

Kuasa Hukum Ungkap Kerumitan Jual Beli Tanah dalam Kasus Mbah Tupon Suasana persidangan kasus sengketa tanah yang melibatkan Mbah Tupon Rabu (17/9 - 2025). Kiki Luqman

Harianjogja.com, BANTUL - Persidangan kasus sengketa tanah yang melibatkan Mbah Tupon kembali digelar pada Rabu (17/9/2025). Dalam persidangan tersebut, terungkap sejumlah fakta baru terkait dokumen jual beli yang dipertanyakan keasliannya.

Kuasa hukum Mbah Tupon, Suki Ratnasari, menegaskan bahwa kliennya tidak pernah menandatangani kuitansi bernilai Rp1 miliar yang disebut-sebut sebagai bukti jual beli tanah.

“Mbah Tupon tidak bisa menulis dan tanda tangannya punya karakteristik khusus karena tremor. Ketika ditunjukkan di persidangan, beliau langsung menyatakan itu bukan tanda tangannya. Bahkan saat diminta tanda tangan di depan hakim, jelas terlihat perbedaan dengan dokumen yang ditunjukkan jaksa,” ungkap Suki, Rabu.

Menurutnya, memang ada transaksi tanah seluas 292 meter persegi yang diakui Mbah Tupon. Dari penjualan tersebut, Mbah Tupon menerima Rp280 juta. Namun, dokumen-dokumen lain yang muncul kemudian justru memperkeruh perkara.

“Kwitansi-kwitansi itu tidak bisa dijadikan dasar jual beli karena belum ada pelunasan dan tidak ada akta jual beli resmi. Justru banyak permainan yang muncul dari pihak lain,” tegasnya.

Suki menjelaskan, dalam perjalanan kasus ini, tanah milik Mbah Tupon pernah diagunkan ke koperasi oleh pihak bernama Triono, tanpa sepengetahuan pemilik sah. Sertifikat tersebut kemudian ditebus, namun kembali berpindah tangan melalui berbagai perjanjian pengikatan jual beli (PPJB).

BACA JUGA: 7 Terdakwa Kasus Mbah Tupon Bantul Didakwa Rugikan Rp3,5 Miliar

“Ada PPJB dari Mbah Tupon ke Bu Suparsi, dengan Pak Bibit sebagai saksi. Tapi pembayarannya juga belum lunas. Kemudian muncul lagi versi-versi baru, ada nama Fitri, Triono, hingga Murtijo. Bahkan sampai sertifikat itu sempat dijadikan jaminan pinjaman,” paparnya.

Kerumitan semakin bertambah ketika tanah yang sama berpindah-pindah tangan tanpa balik nama sertifikat. Hal ini membuat nama Mbah Tupon terus tercatat sebagai pemilik resmi, sehingga kerap dimanfaatkan dalam transaksi berikutnya.

“Faktanya, Mbah Tupon ini seperti dimanfaatkan. Dokumen resmi yang ada hanyalah PPJB dengan Suparsi dan dengan Murtijo. Selebihnya, peran Bibit, Triono, dan Fitri sangat dominan. Mereka yang diduga memainkan transaksi ini,” ujar Suki.

Ia menambahkan, majelis hakim diharapkan dapat menilai secara jernih bukti-bukti yang diajukan, termasuk dua dokumen baru yang disebut jaksa.

“Bukti sah itu jelas, PPJB ada, saksinya ada. Tapi yang dipersoalkan adalah pembayaran yang tidak lunas, juga munculnya dokumen-dokumen yang diduga palsu. Itu yang harus dibuktikan,” kata dia.

Suki menegaskan pihaknya akan terus mengawal kasus ini demi memperjuangkan hak-hak Mbah Tupon. “Yang jelas, klien kami tidak pernah menandatangani dokumen yang ditunjukkan jaksa sebagai bukti jual beli Rp1 miliar. Kami yakin hakim bisa melihat ketidaksesuaian tersebut,” kata Suki.

Sementara itu Ketua RT 04 Dusun Ngentak, Kalurahan Srihardono, Agil Dwi Raharjo, mengungkapkan sejumlah fakta baru terkait surat keterangan tidak mampu (SKTM) hingga upaya mediasi yang pernah dilakukan di tingkat kalurahan.

Agil menjelaskan bahwa Mbah Tupon memang pernah mengajukan SKTM, tetapi dokumen itu tidak terkait dengan perkara tanah yang kini dipersoalkan.

“SKTM itu dulu memang pernah diajukan, tapi keperluannya untuk beasiswa anaknya, jauh hari sebelum perkara ini muncul. Itu bahkan sebelum saya resmi jadi RT, sebelum tahun 2020,” kata Agil.

Selain itu, Agil mengungkapkan bahwa sudah ada tiga kali mediasi yang digelar di Kalurahan terkait sengketa tanah Mbah Tupon. Pada tahap pertama, mediasi hanya sebatas klarifikasi dari pihak Triono. Namun, karena tidak ada kejelasan, pertemuan kedua dilanjutkan dengan diskusi lebih serius.

“Di mediasi kedua itu muncul surat perjanjian, di mana Pak Triono dan Pak Bibit memberikan surat jaminan. Sertifikatnya juga dijaminkan kepada Mbah Tupon dengan nilai setara tanah yang akan dilelang,” jelasnya.

Dalam mediasi ketiga, persoalan semakin berkembang. Saat itu, sertifikat tanah diserahkan sebagai bentuk jaminan, sekaligus dilaporkan ke pihak kepolisian.

“Diskusi terakhir itu, Pak Bibit, Pak Triono, bersama Mas Heri melaporkan masalah ini ke Polda. Nama-nama yang disebut dilaporkan antara lain Triono dari Sewon, kemudian Anhar Rusli, dan terakhir Indah Fatmawati. Tapi dalam laporan resmi ke Polda, yang masuk justru Pak Bibit dan Triono sendiri,” terang Agil.

Menurutnya, alur panjang perkara ini membuat persoalan semakin rumit dan membutuhkan pembuktian yang jelas di ranah hukum.

“Faktanya memang proses mediasi sudah dilakukan tiga kali, dan ada bukti surat jaminan maupun laporan ke kepolisian. Tinggal nanti bagaimana pengadilan menilai bukti-bukti tersebut,” tutup Agil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|