Pengendara melintas di depan objek tanah nomor persil 34 yang di atasnya berdiri sebuah restoran yang kini tengah tersangkut dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi mantan Lurah Srimulyo, Wajiran, Kamis (18/9 - 2025) (email)
Harianjogja.com, BANTUL – Mantan Lurah Srimulyo, Wajiran mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) tanah kas desa (TKD) nomor persil 34 yang di atasnya berdiri sebuah restoran.
Wajiran yang sudah menjabat lurah setempat sejak 2013 itu disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 31/1999 tentang Tipikor.
Permohonan praperadilan itu sudah terdaftar dalam register perkara nomor 6/Pid. Pra/2025/PN.Smn yang diajukan pada 2 September lalu. Tahapan sidang kini sudah masuk pada agenda pemeriksaan baik dari pihak pemohon dan termohon dan dijadwalkan bakal diputus pada pekan depan.
BACA JUGA: Bupati Sleman Tugaskan OPD Dampingi Kalurahan Kelola Tanah Kas Desa
Penasehat hukum Wajiran, Romi Habie menilai penetapan kliennya tidak sah secara prosedur dan cacat formil. Romi menyebut, salah satu persoalan mendasar terletak pada status tanah yang menjadi objek sengketa.
“Tanah itu masih abu-abu, apakah benar TKD atau tanah milik pribadi. Belum ada kepastian hukum, tapi sudah dijadikan dasar dugaan korupsi,” katanya, Kamis (18/9/2025).
Selain itu, ia juga menyinggung ketiadaan alat bukti berupa kerugian negara saat Wajiran ditetapkan tersangka pada 3 Juli 2025. Padahal, hasil audit kerugian keuangan negara baru keluar pada 25 Agustus 2025.
“Pada kasus Tipikor itu syarat utama harus ada kerugian negara yang jelas. Bukan sekadar perbuatan melawan hukum,” ujarnya.
Dia juga menilai, pemeriksaan kerugian negara berdasarkan audit dari ahli keuangan yang dilakukan penyidik dalam kasus tersebut tidak sesuai prosedur. “Permohonan audit diajukan 19 Juni, besoknya langsung diperiksa, kemudian keluar nilainya Rp11 miliar, itu angka dari mana,” tambah Romi.
Pihaknya memastikan bahwa upaya praperadilan itu bukan upaya untuk melemahkan Polri, melainkan kontrol agar penegakan hukum tidak sewenang-wenang.
"Pertimbangan kami dalam praperadilan ini bahwa prosedur penetapan tersangka melanggar hukum karena objek TKD nomor persil 34 itu ternyata hak masyarakat yakni letter C Desa No. 248 serta perhitungan kerugian negara yang janggal," jelasnya.
Sementara, Wajiran mengungkap bahwa kasus yang menjeratnya bukan hal baru. “Masalah ini sudah pernah dihitung oleh Inspektorat Bantul dan DIY. Dari total Rp234 juta uang sewa yang masuk desa, hanya Rp31 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena digunakan untuk konsumsi lomba desa. Itu pun sudah saya selesaikan dengan mengembalikan ke rekening desa,” jelasnya.
Wajiran juga menegaskan bahwa usaha hotel dan restoran yang kini dipermasalahkan itu sudah berdiri sejak 1996, jauh sebelum dirinya menjabat lurah. Pada 2002, usaha tersebut telah memiliki izin lengkap, mulai IMB, hingga izin hotel dan restoran.
“Saya hanya melanjutkan, bahkan sudah berusaha memenuhi izin gubernur sesuai aturan baru, tapi ditolak karena masuk zona merah,” katanya.
Wajiran menjelaskan, dari catatan buku tanah desa, lahan itu tercatat atas nama Somo Pawiro yang dibeli dari Mangun Pawiro pada 7 Agustus 1976 silam, kemudian sejak 1996 sudah dikerjasamakan dengan desa dan sampai dia menjabat masih membayar sewa TKD.
“Saya memang jadi tersangka, tapi saya ingin diperlakukan adil dan prinsipnya semua warga punya hak yang sama di depan hukum,” pungkasnya.
Sementara Kepala Bidang Humas Polda DIY Kombes Pol Ihsan belum memberikan pernyataan saat dimintai konfirmasi oleh wartawan soal pengajuan praperadilan itu. Telepon dan pesan singkat yang dikirimkan pun sampai berita ini ditulis belum dijawab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News