Din Syamsuddin Dorong Kolaborasi Tripartit Atasi Krisis Lingkungan

1 hour ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tokoh intelektual dan agama Islam Din Syamsuddin menegaskan perlunya kolaborasi lintas pihak dalam menghadapi krisis lingkungan. Menurutnya, keterlibatan tokoh agama, pemerintah, dan dunia usaha menjadi kunci penerjemahan nilai agama tentang alam ke dalam tindakan nyata.

“Agama-agama sudah lama mengajarkan kebenaran dan kearifan tentang alam. Bahkan ada deklarasi global seperti Religion and Climate Solution serta deklarasi UNESCO tentang etika perubahan iklim,” kata Din dalam diskusi Kolaborasi Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Dalam Mendorong Kepedulian Lingkungan, Senin (22/9/2025).

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menyebut, lebih dari 21 agama besar dunia, termasuk agama lokal, telah mencapai titik temu dalam teologi lingkungan. Konsep tersebut berkembang menjadi share theology on environment and nature dan sudah dipraktikkan di berbagai negara.

Namun, Din menilai implementasi di Indonesia masih jauh dari harapan. Ia melihat ada kesenjangan antara idealitas teologi dan realitas budaya umat. “Penyadaran sudah dilakukan di rumah ibadah setiap pekan, tetapi hasilnya belum maksimal,” ujarnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2010 membentuk Komisi Pemuliaan Lingkungan Hidup. Din menegaskan, istilah “pemuliaan” berbeda dengan sekadar konservasi. “Alam adalah ciptaan Tuhan yang suci. Manusia harus memuliakan, bukan mengeksploitasi. Alam bukan objek, melainkan subjek,” katanya.

Ia juga menyoroti kerusakan lingkungan yang justru banyak berasal dari luar komunitas agama, terutama aktivitas industri dan kebijakan yang longgar. “Kalau undang-undang masih membuka ruang pembakaran hutan dua atau tiga hektare, apa gunanya kesadaran umat? Itu melahirkan kebakaran berulang,” tegasnya.

Din mendorong revisi Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Lingkungan Hidup agar lebih selaras dengan pesan moral agama. Ia menilai, kebijakan yang ada justru memberi celah bagi pengusaha melakukan praktik perusakan.

Karena itu, ia mengusulkan kolaborasi tripartit, yaitu tokoh agama dan masyarakat, pemerintah, serta dunia usaha. “Kalau hanya tokoh agama dan masyarakat, atau hanya pemerintah, hasilnya tidak menyentuh akar masalah. Dunia usaha harus ikut duduk bersama,” ucapnya.

Sebagai contoh, ia menyebut inisiatif Eco House of Worship yang mencakup pengelolaan sampah, air, hingga desain ramah lingkungan untuk masjid, gereja, pura, dan vihara. Namun, gerakan ini dinilai masih kecil dan belum mampu menandingi dampak industri ekstraktif.

Din mengingatkan pemerintah agar tidak mengabaikan peran tokoh agama. Ia mencontohkan pengalaman Indonesia Rainforest Initiative di Papua yang gagal mendapat dukungan penuh karena dicurigai terkait pihak asing. “Padahal kami ingin memperkuat bangsa. Tapi kolaborasi kandas karena salah paham birokrasi,” katanya.

Menurut Din, dalam forum internasional, peran agama sering ditempatkan di ruang samping. Perdebatan utama antarnegara hanya fokus pada angka penurunan emisi. “Di COP Paris, ada sesi tentang peran agama. Tapi pemerintah tetap sibuk berdebat 0,5 persen pengurangan emisi. Ini menunjukkan tanggung jawab negara dalam kerusakan lingkungan tidak kecil,” ujarnya.

Ia menegaskan, tanpa kolaborasi serius, diskusi lingkungan hanya jadi rutinitas intelektual yang tak menyentuh akar masalah. “Kalau tidak, dua atau tiga tahun lagi kita masih duduk nyaman di ruang ber-AC, padahal AC itu sendiri menambah beban lingkungan,” ujarnya.

Meski kritis, Din tetap optimistis. Ia menilai persatuan agama-agama dunia dalam visi lingkungan adalah modal penting. “Jangan biarkan kami membangun rumah di tepi pantai sementara ombak besar terus menggerusnya. Kalau agama, pemerintah, dan dunia usaha benar-benar berkolaborasi, saya yakin kita bisa menjaga bumi bersama,” katanya.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|