REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Yogyakarta kini memasuki tahap evaluasi menyeluruh. Badan Gizi Nasional (BGN) menyoroti tata kelola dapur dan sistem rantai pasok sebagai titik penting agar program ini tidak sekadar berjalan, tetapi benar-benar berdampak pada peningkatan gizi masyarakat.
Deputi Bidang Pengawasan Program BGN, Mayor Jenderal TNI (Purn) Dadang Hendrayudha menegaskan bahwa program ini tidak hanya berfokus pada penyediaan makanan, tetapi juga memastikan asupan yang diterima anak-anak benar-benar bergizi dan aman.
"Niat kita adalah memberikan makan bergizi, bukan makan kenyang. Karena itu tata kelola, rantai pasok, hingga bahan bakunya harus benar-benar berkualitas," ujar Dadang saat diwawancarai wartawan di depan Ruang Yudhistira Balai Kota Yogyakarta, Kamis (6/11/2025).
Dadang menjelaskan, evaluasi dilakukan secara menyeluruh, termasuk terhadap dapur yang sempat ditutup karena temuan bakteri E. coli pada bahan makanan. Menurutnya, persoalan tersebut berasal dari air yang digunakan dalam proses pengolahan. Karena itu, BGN meminta setiap dapur menggunakan air galon khusus yang higienis agar kasus serupa tidak terulang.
Selain perbaikan aspek higienitas, BGN juga menekankan pentingnya keseimbangan antara jumlah dapur dan wilayah penerima. Di Yogyakarta, satu kecamatan idealnya memiliki tiga dapur aktif dengan radius distribusi sekitar satu kilometer agar makanan dapat dikonsumsi tepat waktu dan tidak menurun kualitasnya.
“Kami tidak ingin makanan yang sudah diolah menempuh jarak pengiriman terlalu jauh. Ini soal waktu, suhu, dan keamanan pangan. Maka pembagian dapur harus disesuaikan dengan kondisi wilayah," kata Dadang.
Dari sisi sosial ekonomi, program MBG disebut memberikan dampak yang signifikan. Hingga kini, terdapat lebih dari 14 ribu dapur SPPG di seluruh Indonesia dengan sekitar 776 ribu masyarakat yang terlibat langsung sebagai tenaga kerja. Program ini dinilai membuka banyak lapangan pekerjaan baru di tingkat lokal tanpa menuntut kualifikasi pendidikan tinggi.
Namun, untuk posisi-posisi teknis seperti ahli gizi, akuntansi, dan koki tetap harus diisi oleh tenaga profesional yang bersertifikat agar standar keamanan pangan tetap terjaga.
“Kita ini merupakan padat karya, tujuan SPPG memang membuka lapangan pekerjaan. Masyarakat sekitar dapur bisa ikut bekerja tanpa harus lulusan S1, yang penting mereka dilatih dan paham standar kebersihan. Ini membantu ekonomi keluarga sekaligus memastikan makanan layak dikonsumsi,” jelasnya.
Sementara itu, Wali Kota Yogyakarta, dr Hasto Wardoyo, menegaskan komitmennya untuk memperketat pengawasan dapur MBG di wilayahnya. Ia mendukung langkah BGN agar Dinas Kesehatan lebih tegas dalam menentukan kelayakan operasional dapur.
"Kami ingin disiplin ditegakkan. Kalau air yang digunakan masih mengandung E. coli, berarti belum layak beroperasi. Karena itu sebelum dapur jalan, harus dicek dulu sumber airnya," ujar Hasto.
Ia menambahkan, dapur MBG di Yogyakarta diimbau menggunakan air perpipaan dari PDAM atau galon berfilter agar higienitasnya terjamin. Pemerintah kota juga akan melakukan peninjauan lapangan sebelum memberikan izin beroperasi kepada setiap dapur.
Melalui evaluasi ini, BGN dan Pemerintah Kota Yogyakarta berharap pelaksanaan Program MBG tidak hanya menurunkan risiko gizi buruk, tetapi juga menjadi pola pengelolaan pangan sehat yang berkelanjutan di tingkat daerah.

2 hours ago
1















































