Aktivis Reformasi Protes Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebagian aktivis reformasi menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Presiden ke-2 RI itu dikatakan tak adil bagi para pelaku-pelaku maupun korban sejarah di masa lalu. Para aktivis mempertanyakan sikap moral pemerintah dalam pemberian gelar pahlawan nasional terhadap penguasa Orde Baru tersebut.

“Atas nama keadilan sejarah dan integritas moral bangsa, kami mempertanyakan keputusan negara yang menobatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional,” begitu pernyataan resmi para aktivis reformasi yang disampaikan Andi Arief kepada Republika, Senin (10/11/2025).

Andi Arief mewakili lebih dari 21 aktivis yang menerbitkan pernyataan bersama atas sikap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, Senin (10/11/2025). Selain Andi, pernyataan sikap bersama itu juga diikuti oleh Rocky Gerung, Rachland Nashidik, Robertus Robet, Hery Sebayang, Aam Sapulete, Denny Indrayana, Hendardi, Zeng Wei Zian, Bivitri Susanti, Syahganda Nainggolan, dan lain-lain.

Para aktivis itu mengakui catatan-catatan jasa di masa kepemimpin Soeharto. Namun menurut para aktivis reformasi itu, jasa-jasa kepemimpinan Soeharto tak serta-merta menjadi pembungkus putih atas amoralitas yang terjadi selama 32 tahun pemerintahan orde baru. “Kami tak menolak mengakui jasa yang disumbangkan siapapun terhadap republik ini, termasuk Soeharto,” begitu dalam pernyataan tersebut.

Menurut mereka, menjadikan jasa-jasa Suharto sebagai dasar pemberian gelar pahlawan nasional, bak pemerintahan yang resmi sedang memberikan asupan lupa ingatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. “Menjadikan klaim jasa sebagai dalih untuk menutupi, menyamarkan, dan mengaburkan kesalahan atau kejahatan sejarah, sama saja dengan menyuntikkan bius amnesia sejarah ke tubuh bangsa,” sambung pernyataan tersebut.

Para aktivis menilai, kepahlawanan nasional harus lebih dari sekadar jasa-jasa pembangunan yang selama ini kerap didalihkan agar Soeharto menjadi pantas mendapatkan gelar tersebut. Padahal, menurut para aktivis, kepahlawanan semestinya mampu melingkupi kejiwaan yang lebih luhur pada diri yang mendapatkan gelar tersebut.

“Kepahlawanan adalah hal yang jauh lebih besar dan penting dari sekadar menghargai jasa seseorang. Kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif: cara suatu bangsa untuk mendidik anak-anaknya membedakan benar dari salah dalam sejarah. Memilih mana yang patut dihormati dan mana yang harus menjadi pelajaran,” begitu menurut para aktivis.

Para aktivis tersebut juga mempertanyakan dalih-dalih rekonsiliasi sebagai dasar pemerintahan saat ini dalam mendapuk pahlawan nasional untuk Soeharto. Menurut mereka, rekonsiliasi atau penyatuan kembali untuk mengakhiri konflik maupun pertikaian dari masa lalu memang patut dilakukan demi pengakhiran atas dendam ataupun luka-luka dari sejarah lewat.

Namun begitu, menurut para aktivis, pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto itu tetap menjadi tak adil terhadap para pelaku-pelaku sejarah perjalanan Indonesia di masa Orde Lama sampai Orde Baru yang juga sama-sama memberikan sumbangsih tinggi terhadap pemikiran dan perjuangan untuk misi kemerdekaan. Meskipun para pelaku-pelaku sejarah tersebut saling berbeda paham, maupun jangkar pemikiran yang beragam-ragam dalam misi kemerdekaan bersama.

“Kami setuju, rekonsiliasi bisa saja berguna untuk menyembuhkan luka-luka bangsa. Tapi bila demikian halnya, kami bertanya: mengapa negara tidak secara konsekuen juga mengakui peran para tokoh-tokoh 'kiri' Indonesia, mereka para pejuang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme yang dihapus dari catatan resmi sejarah kemerdekaan hanya karena perbedaan ideologi?” kata para aktivis tersebut.

Presiden Prabowo Subianto, pada Senin (10/11/2025) tepat pada Hari Pahlawan 10 November 2025 menobatkan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Gelar pahlawan nasional untuk Soeharto itu, sebetulnya sejak lama diusulkan. Akan tetapi resistensi publik yang tinggi selama ini membuat pemerintah selalu menunda pemberian gelar terhadap Presiden RI ke-2 itu. Beragam tanggapan negatif maupun positif kerap mewarnai polemik tentang pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto itu.

Para kelompok yang menolak pemberian gelar tersebut selama ini bersandar pada pengalaman 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto yang penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pun pemerintahan Soeharto yang dinilai otoriter, bahkan sarat dengan catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan terjadinya banyak tragedi-tragedi yang menelan korban tak sedikit.

Sedangkan kelompok yang mendukung pemberitan gelar tersebut beranggapan Presiden Suharto layak disebut pahlawan nasional karena berjasa menyelematkan Indonesia dari pemberontakan 1965, pun dianggap berhasil membangun, serta memberikan keamanan bagi masyarakat Indonesia selama 32 tahun memimpin.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|