Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kanan) dan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris.
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Di balik langkah pengakuan Negara Palestina, terungkap bahwa Prancis juga menyiapkan agenda pelucutan Hamas. Negara itu mengusulkan pembentukan pasukan internasional yang akan menggelar operasi demiliterisasi Gaza.
Prancis memajukan inisiatif yang bertujuan untuk membentuk “Misi Stabilisasi Internasional” yang akan menggantikan IDF di Gaza dan berupaya melucuti senjata Hamas setelah perang berakhir, menurut rancangan proposal yang diperoleh The Times of Israel.
Proposal tersebut bertujuan untuk mengoperasionalkan deklarasi oleh sejumlah negara Arab di PBB pada Juli yang menyerukan solusi dua negara, perlucutan senjata Hamas dan penyerahan keamanan internal secara bertahap di Gaza ke Otoritas Palestina.
Kelompok Hamas terbentuk menyusul perlawanan semesta Palestina alias Intifada pada 1980-an. Sayap militernya, Brigade Izzuddin al-Qassam, bertanggung jawab melakukan perlawanan militer terhadap penjajah Israel.
Sebagai partai politik, Hamas memenangkan pemilu perdana Palestina pada 2006. Kendati demikian, kemenangan itu enggan diakui negara-negara Barat yang mencap Hamas sebagai kelompok teror. Dengan dukungan negara Barat, faksi Fatah melakukan pemberontakan atas kemenangan itu yang memicu perang sipil di Gaza.
Latihan Pilar Perkasa yang digelar kesatuan faksi perlawanan Palestina di Gaza pada September 2023.
Bagaimanapun, Hamas berhasil merebut kendali Gaza yang kemudian dibalas Israel dan sekutunya dengan blokade atas wilayah itu, menjadikannya penjara terbuka terbesar di dunia.
Pada 7 Oktober, Hamas bersama faksi-faksi perlawanan lainnya di Gaza seperti Jihad Islam Palestina, PFLP, DFLP, dan Komite Nasional mencoba membongkar kepungan itu dengan melakukan serangan ke Israel. Serangan itu diklaim Israel menewaskan seribu lebih tentara Israel dan warga sipil. Pihak Israel belakangan mengakui sebagian korban jiwa adalah karena tindakan militer Israel sendiri.
Para pejuang Palestina juga menyandera 200 lebih warga sipil dan tentara Israel untuk ditukar dengan ribuan warga Palestina yang dipenjarakan tanpa proses hukum oleh Israel.
Israel kemudian membalas aksi itu dengan melakukan serangan brutal di Gaza yang sejauh ini menewaskan lebih dari 65 ribu jiwa. Israel juga menerapkan blokade yang menyebabkan ratusan orang meninggal kelaparan. Berbagai lembaga termasuk penyelidik PBB menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida di Gaza dengan agresi tersebut. Sejauh ini, PM Israel Benjamin Netanyahu terus menggagalkan upaya gencatan senjata dan pertukaran sandera.