
Oleh : Prof Ema Utami (Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Amikom Yogyakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, Sudah lebih dari lima bulan saya membiasakan diri berjalan kaki setiap pagi setelah shalat Subuh. Membangun kebiasaan baru yang konsisten memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di awal, rutinitas ini terasa berat, rasa malas, kantuk, dan keinginan kembali ke hangatnya selimut sering kali menjadi godaan terbesar.
Namun seiring waktu tubuh mulai beradaptasi dan pikiran pun terbiasa dengan ritme pagi yang baru. Dari yang semula hanya mampu berjalan selama 30 menit, kini saya terbiasa berjalan 50–60 menit setiap hari, menjadi penyemangat sebelum memulai aktivitas.
Konsistensi betapapun sulit di awal, akan berbuah manis ketika dijalani dengan kesabaran dan niat yang kuat. Prinsip sederhana ini kembali saya tekankan dalam beberapa hari terakhir saat membimbing mahasiswa S2 Informatika dan S3 Informatika. Sebanyak 12 mahasiswa Magister dan tujuh mahasiswa Doktoral berdiskusi penuh semangat tentang arah dan tantangan penelitian mereka. Dalam setiap pertemuan, saya melihat ada semangat yang besar, tetapi juga terdapat keraguan yang kadang muncul ketika beban akademik terasa menekan. Di sinilah peran konsistensi diuji untuk tetap mampu bertahan di saat motivasi menurun dan hasil belum tampak.
Perjalanan menyelesaikan studi, khususnya di jenjang Pascasarjana dan lebih-lebih S3 tidaklah seperti perlombaan lari cepat. Namun lebih selayaknya lomba lari maraton yang menuntut ketekunan dan daya tahan mental. Perjalanan yang membutuhkan kedisiplinan, manajemen waktu, serta kemampuan menjaga fokus di tengah berbagai gangguan dan tuntutan hidup. Saya selalu mengingatkan bahwa kemajuan kecil yang dilakukan secara konsisten jauh lebih bernilai daripada semangat besar yang hanya sesaat. Namun demikian, dipastikan terdapat berbagai perbedaan dalam menyikapi tantangan dan dorongan yang diberikan oleh tim pembimbing atau tim promotor. Ada yang merespons dorongan dengan semangat tinggi dan segera menindaklanjuti arahan. Ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama untuk menyesuaikan diri dengan ritme bimbingan dan tekanan akademik.
Perbedaan di antara mahasiswa adalah hal yang wajar, mengingat setiap individu memiliki latar belakang, karakter, dan dinamika kehidupan yang unik. Karena itu, membangun komunikasi yang terbuka serta sikap saling memahami antara mahasiswa dan pembimbing menjadi sangat penting. Peran sebagai pembimbing atau promotor tidak hanya menuntun secara akademik, tetapi juga menyeimbangkan antara dorongan dan dukungan. Dorongan dapat berupa tantangan intelektual yang memacu mahasiswa berpikir lebih kritis dan mendalam, sementara dukungan moral dibutuhkan ketika semangat mereka mulai menurun. Saya percaya bahwa setiap mahasiswa memiliki potensi untuk berhasil selama ia mampu menjaga konsistensi, terbuka terhadap masukan, dan tidak mudah menyerah dalam perjalanan panjang menuju gelar akademik yang diimpikan.
Hal serupa saya amati dalam pertemuan pekan lalu di kantor Frogs Indonesia. Ada tantangan sekaligus peluang besar bagi industri pesawat nirawak (drone) di Indonesia ke depan. Disrupsi Artificial Intelligence kini tidak bisa lagi dihindari, ia harus dihadapi dengan kesiapan, inovasi, dan komitmen yang berkelanjutan. Industri drone saat ini tidak lagi hanya bergantung pada kemampuan teknis dalam desain atau mekanika, tetapi juga pada integrasi sistem cerdas yang mampu melakukan pengambilan keputusan otomatis, analisis data secara real-time, serta meningkatkan efisiensi operasional secara signifikan.
Dengan demikian agar mampu bersaing di tingkat global, Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang adaptif, riset yang mendalam, serta kolaborasi erat antara akademisi, industri, dan pemerintah. Seperti halnya proses pendidikan di jenjang Pascasarjana, membangun daya saing dalam industri teknologi tinggi menuntut ketekunan, kesabaran, dan visi jangka panjang. Tidak ada hasil yang instan, yang ada adalah proses berkelanjutan untuk terus belajar, menyesuaikan diri, dan berinovasi demi kemajuan bersama.
Saya meyakini bahwa baik dalam membangun kebiasaan pribadi maupun dalam menapaki perjalanan akademik dan profesional, kunci utama keberhasilan terletak pada konsistensi, kesabaran, dan ketulusan niat. Tidak ada pencapaian yang lahir dalam sekejap, setiap langkah kecil yang diulang dengan tekun akan membentuk jalan menuju hasil besar. Dalam dunia modern yang terus bergerak cepat dan penuh disrupsi yang menuntut perubahan dan pembaruan terus-menerus, kemampuan untuk beradaptasi menjadi keharusan, namun nilai-nilai dasar seperti integritas, ketekunan, dan semangat belajar harus tetap menjadi kompas yang menuntun arah.
Saya meyakini bahwa setiap upaya yang dijalani dengan kesungguhan, keikhlasan, dan konsistensi akan senantiasa mendapatkan bimbingan dan pertolongan dari Allah. Allah berfirman dalam surat Al-‘Ankabut ayat 69: "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik." Ayat ini mengingatkan kita bahwa tidak ada usaha yang sia-sia bila dilakukan dengan niat tulus dan kerja keras yang konsisten. Setiap langkah kecil yang ditempuh dengan kesabaran, ketekunan, dan nilai spiritual akan membuahkan hasil yang berarti, baik dalam membangun kebiasaan sehari-hari, menuntaskan pendidikan tinggi, mengembangkan karier profesional, maupun bersaing di industri teknologi. Dengan menjaga niat dan konsistensi, sambil selalu berdoa dan bertawakal kepada Allah, kita tidak hanya menapaki jalan menuju prestasi, tetapi juga menemukan makna yang lebih dalam dari setiap pencapaian, karena setiap jalan kebaikan akan senantiasa dibimbing oleh-Nya. Wallāhu a‘lam.

3 hours ago
3













































