Katanya: Antara Kebenaran, Bahasa, dan Wahyu

14 hours ago 2

Image Umar Wachid B. Sudirjo

Sastra | 2025-11-02 01:47:33

kosakatajawa.com

Oleh Umar Wachid B. Sudirjo

Catatan Editor: Tulisan ini mengajak pembaca merenungkan hakikat kebenaran di balik bahasa. Bahwa setiap informasi, bahkan yang datang langsung dari sumbernya, tetap menyisakan jarak antara realitas dan kata-kata. Umar mengupas konsep “katanya” bukan sekadar sebagai isu komunikasi, melainkan sebagai cermin dari keterbatasan manusia di hadapan kebenaran ilahi.

Setiap Informasi Adalah “Katanya”

Sebenarnya, setiap informasi — bahkan yang datang langsung dari sumbernya — tetaplah sebuah bentuk “katanya.” Begitu sebuah peristiwa diubah menjadi kata-kata, ia sudah tidak lagi berdiri sebagai kenyataan murni. Ia telah berubah bentuk, dari peristiwa menjadi narasi, dari kejadian menjadi cerita. Dan di titik itulah, kebenaran mulai memasuki wilayah tafsir manusia.

Informasi, sekecil apa pun, selalu melewati tangan, pikiran, dan lidah seseorang sebelum sampai kepada kita. Ia tidak pernah benar-benar murni. Ia sudah tersentuh oleh cara pandang, pilihan kata, dan bahkan niat penyampainya. Karena itu, meski datang dari sumber aslinya, kebenaran yang disampaikan lewat bahasa tidak bisa langsung disebut sebagai kebenaran utuh. Ia adalah cerminan yang bisa jernih, tapi juga bisa buram — tergantung siapa yang memegang cermin itu.

Maka, berita apa pun pada dasarnya tetap “katanya”: kata sumbernya, kata saksi, kata teman, kata tetangga, kata media, kata masyarakat. Semua saling mengulang dan menafsir, hingga kebenaran itu membelah menjadi begitu banyak versi.

Bahasa: Pisau dan Bayangan

Kita sering lupa bahwa bahasa bukanlah kenyataan, melainkan alat untuk menyentuhnya. Bahasa bisa jadi pisau yang memotong realitas menjadi potongan-potongan kecil yang bisa kita pahami, namun di saat yang sama, ia juga bisa menjadi bayangan yang membuat kita salah mengira di mana letak terang dan di mana gelap.

Seseorang bisa berkata benar, tapi bahasanya menimbulkan salah paham. Seseorang bisa berbohong, tapi dengan bahasa yang begitu meyakinkan hingga orang menganggapnya benar. Dalam dunia yang penuh kata, kebenaran menjadi sesuatu yang harus dicari, bukan sekadar didengar.

Bahasa tidak hanya menjelaskan realitas, tapi juga membentuknya. Kita mengenal sesuatu karena kita menamainya, dan kita memaknainya karena kita menyusunnya dalam kalimat. Namun di saat yang sama, bahasa juga menipu kita dengan ilusi pemahaman: kita merasa tahu hanya karena bisa menyebut. Padahal menyebut belum tentu memahami.

Nabi dan Kebenaran yang Tak Tercemar

Namun prinsip ini tidak berlaku bagi para Nabi. Mereka adalah pengecualian, karena mereka bukan pencipta pesan, melainkan penyampai risalah yang datang dari sumber kebenaran itu sendiri — Tuhan.

Nabi Muhammad ﷺ dan para nabi lainnya berbicara bukan dari kehendak pribadi, tetapi atas dasar wahyu. Ucapan mereka bukan tafsir, melainkan kebenaran yang disampaikan tanpa cela. Mereka adalah perantara antara langit dan bumi, bukan sekadar saksi peristiwa, tapi pembawa pesan yang tidak boleh diganti atau dikurangi.

Maka, ketika Nabi berbicara, yang disampaikan bukan “katanya,” melainkan “firman-Nya.” Perbedaan itu amat besar, sebab satu berasal dari keterbatasan manusia, sementara yang lain bersumber dari kesempurnaan ilahi. Kata Nabi tidak lagi memantulkan diri manusia, melainkan kehendak Pencipta.

Manusia dan Keterbatasan Tafsir

Lalu bagaimana dengan istri dan sahabat Nabi? Mereka pun manusia sebagaimana kita, hanya kadar, niat, dan kedekatannya dengan kebenaran yang berbeda. Mereka menyaksikan langsung risalah yang agung itu, hidup di sisinya, mendengar dan merasakan ajaran yang paling murni. Namun tetap, mereka memiliki ingatan, tafsir, dan perasaan.

Karena itu, tidak sedikit peristiwa di masa mereka yang menyisakan perbedaan keterangan. Satu sahabat berkata begini, yang lain berkata begitu. Bukan karena mereka ingin memalsukan, tetapi karena mereka manusia — dan manusia selalu membawa keterbatasan dalam ingatannya.

Inilah alasan mengapa bahkan dalam sejarah Islam yang paling mulia, ilmu hadits harus hadir: untuk memeriksa rantai “katanya.” Para ulama meneliti siapa yang berkata, dari siapa ia mendengar, bagaimana karakternya, dan seberapa kuat ingatannya. Sebab dalam dunia kata, kebenaran tidak hanya ditentukan oleh isi kalimat, tetapi juga oleh siapa yang mengucapkannya.

Setiap manusia, betapapun jujurnya, tetap berbicara dari ruang batinnya sendiri. Kata yang keluar dari lisannya adalah hasil pertemuan antara ingatan dan pemaknaan. Kebenaran mungkin disampaikan, tetapi bentuknya selalu melewati cermin diri. Maka setiap kata adalah bayangan — kadang jelas, kadang samar, tergantung kejernihan jiwa yang memantulkannya.

Makna Kata dalam “Katanya”

Kata “katanya” sendiri menarik jika diurai. Ia terdiri dari dua unsur: “kata” dan “Nya.” Bagian “kata” mewakili isi pesan, sedangkan “Nya” menunjukkan siapa yang mengucapkannya.

Artinya, setiap ucapan, bahkan yang benar sekalipun, tetap melekat pada pengucapnya. Begitu seseorang berbicara, kebenaran itu sudah diberi warna oleh keberadaannya. Bahasa tidak pernah sepenuhnya netral, sebab setiap kata lahir dari seseorang — dari pikirannya, dari rasanya, dari dirinya.

Karena itu, sekalipun seseorang adalah pelaku langsung dari sebuah peristiwa, ketika ia mulai menceritakan pengalamannya, yang keluar dari lisannya tetaplah “katanya.” Sebab ia sudah berbicara setelah kejadian itu berlalu. Ia bukan lagi bagian dari peristiwa, melainkan pemberi keterangan tentang peristiwa.

Kejadian adalah realitas yang diam dan utuh. Sedangkan “katanya” adalah sesuatu yang disertakan setelahnya agar realitas itu bisa dipahami dan diwariskan. Maka “katanya” bukanlah penyerta kejadian, melainkan sesuatu yang disertakan oleh manusia untuk menjelaskan kejadian.

Bahasa: Cermin dan Bias

Di sinilah bahasa menunjukkan paradoksnya. Ia adalah cermin yang membuat kita bisa melihat kebenaran, tapi di saat yang sama, ia juga bisa memantulkan bayangan yang terdistorsi. Kata bisa menjadi jembatan menuju pemahaman, tapi juga jurang menuju kesalahpahaman.

Dan karena itu, dalam setiap “katanya,” kita perlu kebijaksanaan — bukan hanya untuk menilai benar atau salah, tetapi juga untuk memahami seberapa jauh kata itu sudah bergeser dari sumbernya.

Kebenaran yang disampaikan lewat bahasa adalah seperti cahaya yang melewati kaca patri: warnanya indah, tapi tidak lagi putih. Kaca itu adalah kita — manusia dengan segala tafsir, rasa, dan pengalaman.

Kata, Niat, dan Cermin Diri

Kata tidak pernah kosong. Ia selalu membawa muatan niat. Bisa jadi seseorang berkata benar, tetapi niatnya tidak bersih. Bisa pula seseorang keliru dalam ucapan, tapi niatnya tulus untuk menegakkan kebenaran. Dalam konteks ini, nilai kata bukan hanya diukur dari akurasinya, tetapi dari arah niat yang menyertainya.

Setiap “katanya” adalah cermin niat dan kesadaran manusia. Maka ketika seseorang berbicara, yang sebenarnya berbicara bukan hanya lidahnya, tapi juga hatinya. Dari sini kita belajar bahwa memahami ucapan orang lain tidak cukup dengan mendengar, tetapi perlu merasakan — menakar getaran batin di balik katanya.

Penutup: Kerendahan Hati di Hadapan Kebenaran

Maka pada akhirnya, kita harus rendah hati di hadapan kebenaran. Bahwa apa pun yang kita dengar, baca, atau sampaikan, sejatinya tetaplah “katanya.” Kita hanya bisa mendekati kebenaran, bukan memilikinya sepenuhnya.

Sebab satu-satunya kata yang pasti benar hanyalah kata dari-Nya. Selain itu, semua hanyalah katanya.

Dan barangkali, di situlah letak keindahan hidup manusia: kita hidup di antara kata-kata, berusaha memahami kebenaran yang jauh di atas kata itu sendiri — sebuah kebenaran yang hanya bisa disentuh dengan hati yang jernih, bukan dengan lidah yang fasih.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|