Harianjogja.com, JOGJA—Badan Pusat Statistik (BPS) DIY mencatat nilai ekspor kumulatif Januari–September 2025 mencapai 415,07 juta dolar AS, meningkat 7,28% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sektor industri pengolahan menjadi penggerak utama berkontribusi 99,19% dari total nilai ekspor.
Statistisi Utama BPS DIY, Sentot Bangun Widoyono mengatakan Amerika Serikat (AS) masih menjadi negara tujuan utama ekspor DIY dengan pangsa sebesar 42,75%, disusul oleh Jerman 11,50%, dan Jepang 7,75%.
Secara rinci ekspor ke AS pada September 2025 sebesar 18,18 juta dolar AS turun 2,36% dari Agustus 2025 sebesar 18,62 juta dolar. Namun dilihat secara kumulatif Januari-September 2025 ekspor DIY ke AS sebesar 177,44 juta dolar AS tumbuh 6,77% dari periode yang sama tahun lalu sebesar
166,19 juta dolar AS.
Sementara secara total September 2025 nilai ekspor DIY sebesar 42,89 juta dolar AS turun 10,52% secara bulanan (month-to-month/mtm) dari Agustus 2025 sebesar 47,93 juta dolar.
Secara tahunan atau (year-on-year/yoy) September 2025 terhadap September 2024, nilai ekspor mengalami penurunan 7,12% yoy dengan nilai ekspor pada September 2025 sebesar 42,89 juta dolar AS dan September 2025 sebesar 46,18 juta dolar AS. Menurutnya penurunan ini disebabkan oleh melemahnya permintaan terhadap produk industri pengolahan yang menyumbang 98,74% dari total ekspor
"Kinerja perdagangan luar negeri DIY hingga akhir triwulan III 2025 menunjukkan pertumbuhan positif, meskipun terdapat tekanan pada kinerja bulanan," ucapnya.
Menurutnya komoditas unggulan yang paling banyak dikirim ke luar negeri meliputi pakaian bukan rajutan dan aksesorisnya, barang dari kulit samak, serta pakaian rajutan dan aksesorisnya.
Ia menjelaskan impor DIY secara kumulatif Januari–September 2025 mencapai 129,56 juta dolar AS, tumbuh 6,55% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sentot mengatakan sebagian besar impor berupa bahan baku dan penolong 88,8%, menandakan aktivitas industri manufaktur masih berjalan aktif.
"Tiga negara pemasok utama adalah Tiongkok 38,19%, Hongkong 18,50%, dan Amerika Serikat 17,85%," jelansya.
Dia menyampaikan dengan kinerja ekspor yang masih lebih tinggi daripada impor, neraca perdagangan barang DIY pada Januari-September 2025 mencatat surplus sebesar 285,51 juta dolar AS, naik 20,22 juta dolar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY, Yuna Pancawati menjelaskan pertumbuhan ekspor DIY sebesar 7,28% periode Januari–September 2025 utamanya didorong oleh dominasi sektor industri pengolahan, peningkatan permintaan global terhadap komoditas unggulan, dan dukungan pasar utama seperti AS, Uni Eropa, dan Asean.
"Pasar Amerika meningkat 6,77%, Uni Eropa meningkat 13,79% dan ASEAN meningkat 35,43%," ungkapnya, Selasa (11/11/2025).
Ia menjelaskan secara umum AS memang masih menjadi pasar utama hingga September 2025, terjadinya kontraksi 2,36% secara bulanan Agustus 2025 ke September 2025 mencerminkan adanya fluktuasi permintaan. Menurutnya kontraksi yang tidak terlalu besar ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan, seperti faktor musiman (season) yang bersifat sementara, kondisi ekonomi AS, hingga harga komoditas global yang saling mempengaruhi.
Yuna berharap agar pemberlakukan Tarif Trump ini tidak terlalu menekan ekspor DIY ke AS. Dilihat dari kondisi saat ini, kata dia, ekspor DIY ke AS masih tumbuh 6% dibandingkan tahun sebelumnya, dimana saat ini Tarif Trump sudah diberlakukan.
"Semoga IKM DIY masih dapat mencari peluang pasar baik di AS maupun negara negara lainnya," harapnya.
Lebih lanjut Yuna menyampaikan Pemerintah Daerah (Pemda) akan selalu bersinergi dan berkolaborasi dengan semua stakeholder baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten/Kota, Asosiasi Dunia Usaha maupun akademisi.
"Agar ekspor DIY tetap terjaga dan kondusif," lanjutnya.
Dia menjelaskan jelang akhir tahun 2025, tren ekspor DIY diperkirakan tetap positif secara kumulatif, meski menghadapi tantangan berupa tarif tinggi dari AS dan potensi gangguan distribusi akibat cuaca ekstrem.
Dilihat dari nilai ekspornya, kata dia, komoditi pakaian jadi bukan rajutan dan rajutan, produk kulit seperti sarung tangan kulit, dan furniture masih paling banyak diminati di AS dan Eropa. (**)


















































